![]() |
Sumber: unggahan intstagram @konde.co |
Wacana revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) tengah menjadi sorotan tajam masyarakat sipil. Draf perubahan yang memungkinkan prajurit aktif menduduki jabatan sipil dan memperluas peran militer di luar fungsi pertahanan memunculkan kekhawatiran luas. Terutama bagi kelompok perempuan, revisi ini dinilai sebagai kemunduran yang membahayakan hak-hak sipil dan ruang aman mereka. Dalam negara demokratis, keterlibatan militer dalam urusan sipil tanpa kontrol yang kuat justru membuka pintu bagi represi dan pengalaman sejarah menunjukkan, perempuan selalu menjadi korban paling awal dan paling senyap.
Militer dalam Ranah Sipil: Ancaman yang Tidak Bisa Diabaikan
Salah satu pokok persoalan dalam revisi UU TNI adalah dihapusnya kewajiban prajurit untuk pensiun atau mundur dari militer ketika menduduki jabatan sipil. Hal ini menjadi alarm bahaya atas potensi kembalinya praktik dwifungsi ABRI seperti di masa Orde Baru, di mana militer memiliki kuasa politik dan administratif yang luas. Dalam struktur demokrasi, ketidakseimbangan ini berisiko menghilangkan ruang partisipasi sipil, apalagi jika kontrol sipil terhadap militer tidak diatur secara tegas.
Perspektif Feminis: Ketika Militerisme Mengancam Ruang Hidup Perempuan
Bagi gerakan perempuan, militerisme bukan sekadar persoalan politik pertahanan. Ia adalah cermin sistem kekuasaan yang hirarkis, patriarkal, dan penuh dominasi maskulinitas. Ketika militer masuk ke ranah sipil baik di pemerintahan, pendidikan, hingga media maka nilai-nilai yang menekankan pada empati, kesetaraan, dan keadilan berisiko tergeser. Sejarah kekerasan seksual yang melibatkan aparat keamanan terhadap perempuan, yang hingga kini minim akuntabilitas, menjadi alasan kuat mengapa revisi ini ditolak.
Kekerasan oleh Aparat: Kasus Nyata, Bukan Ketakutan Abstrak
Kekhawatiran itu tercermin dalam berbagai kasus faktual. Salah satunya adalah dugaan kekerasan seksual yang dilakukan oleh mantan Kapolres Ngada terhadap anak di bawah umur, seperti dilaporkan oleh akun @konde.co. Kasus lainnya yang tak kalah menggemparkan adalah kematian tragis Juwita, jurnalis perempuan di Kalimantan Selatan, yang diduga dibunuh oleh oknum TNI AL. Juwita dikenal kerap mengangkat isu-isu perempuan dan kekerasan negara, menjadikan kasusnya simbol nyata betapa nyawa perempuan dalam profesi publik pun tidak aman ketika pelaku adalah bagian dari institusi yang nyaris kebal hukum.
Ruang Demokrasi Menyempit, Perempuan yang Paling Terdampak
Revisi UU TNI ini tidak hanya soal struktur militer, melainkan soal masa depan demokrasi sipil. Ketika ruang sipil dibanjiri seragam, maka keberagaman suara, ekspresi, dan perlawanan berisiko dibungkam. Dalam konteks ini, perempuan yang selama ini berjuang di garda terdepan isu keadilan sosial, lingkungan, dan HAM akan mengalami tekanan yang lebih besar. Kekerasan akan semakin mudah dilakukan, tapi makin sulit disuarakan.
Demokrasi Harus Dijaga, Bukan Dibungkam
Negara yang sehat bukan negara yang memperluas kekuasaan bersenjata ke mana-mana, melainkan negara yang memberi ruang bagi rakyat untuk bersuara dan dilindungi. Revisi UU TNI yang tidak berpihak pada prinsip-prinsip demokrasi dan perlindungan hak asasi justru akan menjadi alat pembungkam yang sah. Dalam situasi ini, suara-suara perempuan tidak boleh diam. Karena ketika perempuan dibungkam, demokrasi pun akan ikut terkubur.
0 comments:
Posting Komentar