![]() |
Sumber: postingan jendela.official.shop |
Judul Buku : 23:59
Penulis : Brian Khrisna
Penerbit : MediaKita
Tahun Terbit : 2023
Tebal Halaman : iv+232 hlm.
ISBN : 9789797946692
Bagaimana rasanya jika waktu seolah berhenti di pukul 23:59, membekukan momen perpisahan yang datang tanpa sepatah kata penjelasan? Novel terbaru Brian Khrisna ini mengajak kita masuk ke dalam hati Ami yang hancur, mempertanyakan takdir dan mencari jawaban di tengah kebingungan. "23:59" adalah bukti nyata bahwa patah hati terdalam seringkali datang tanpa peringatan. Brian Khrisna dengan gamblang melukiskan rapuhnya sebuah hubungan dan perjalanan panjang seorang wanita untuk menerima kenyataan pahit yang ditinggalkan Raga. 'Beberapa orang hanya datang untuk mengajarkan cara melepaskan', mungkin itulah bisikan hati Ami saat membaca kembali kisahnya dalam "23:59". Novel ini adalah kumpulan momen-momen pedih dan perenungan tentang cinta yang tak sampai, disajikan dengan gaya khas Brian Khrisna.
Orang bilang, lupakan saja dia yang meninggalkanmu. Tapi "23:59" menantang pandangan itu, menunjukkan bahwa melupakan tak semudah membalik telapak tangan, terutama ketika sebuah pertanyaan 'mengapa' terus menghantui setiap detik, bahkan hingga menit terakhir sebelum hari berganti. Bagi siapa pun yang pernah merasakan pedihnya ditinggalkan atau sulitnya move on, novel "23:59" menawarkan lebih dari sekadar cerita, ia adalah cermin validasi emosi dan teman yang memahami bahwa proses penyembuhan butuh waktu, air mata, dan jawaban.
Bersiaplah untuk ikut merasakan detak jantung Ami yang tak karuan, menahan air mata, dan berteriak dalam diam. "23:59" akan membawamu dalam sebuah rollercoaster emosional yang intens, dari puncak cinta hingga jurang kehilangan, dan harapan untuk bangkit kembali. Di balik kisah Ami dan Raga, "23:59" sebenarnya mengintip pergulatan Brian Khrisna dalam merangkai kata demi kata untuk menggambarkan kompleksitas patah hati sebuah proses 'di balik layar' yang melahirkan narasi menyentuh tentang kehilangan dan penerimaan.
23:59 adalah novel yang mengisahkan perjalanan emosional seorang perempuan bernama Ami dalam menghadapi patah hati mendalam. Ia ditinggalkan oleh kekasihnya, Raga, secara tiba-tiba dan tanpa penjelasan, yang kemudian memicu proses panjang pencarian makna dan jawaban. Melalui narasi yang terbagi antara fragmen kenangan dan momen kontemplatif, pembaca diajak masuk ke ruang batin Ami yang diliputi kesedihan, kebingungan, hingga usaha untuk bangkit kembali.
Salah satu bentuk unik dari novel ini adalah kehadiran momen sureal menjelang akhir cerita, sebuah pengalaman imajinatif yang dialami Ami dan berfungsi sebagai jembatan untuk memahami alasan Raga pergi. Ini bukan penyelesaian berbasis dialog langsung atau kilas balik biasa, melainkan penggambaran surealisme emosional yang menjadi bagian khas dari penyampaian konflik dan resolusi.
Dalam perjalanannya, narasi kerap diselingi dengan bentuk yang terasa acak, seperti kilasan kenangan kecil yang muncul tiba-tiba: aroma kopi yang disukai Raga, suara hujan yang memicu ingatan, hingga percakapan lama yang kembali menghantui tanpa konteks waktu yang jelas. Potongan potongan ini menampilkan pikiran Ami yang tidak teratur, mencerminkan kondisi mentalnya yang belum stabil. Hal ini juga membuat alur terasa lebih personal dan intim, seolah pembaca membaca langsung isi buku harian Ami.
Selain itu, terdapat detail penting yang memberi kedalaman pada konflik, yaitu kehadiran tokoh Athif, sahabat Raga. Athif memegang kunci atas alasan mengapa Raga menghilang dari hidup Ami. Ia tahu segalanya sejak awal, tetapi memilih diam. Perannya sebagai ‘penyimpan rahasia’ memberi dimensi baru dalam cerita dan memperluas ruang konflik tidak hanya antara dua tokoh utama, tetapi juga menyentuh aspek moral dan loyalitas antartokoh.
Dari segi kebutuhan pembaca, 23:59 menghadirkan representasi emosional dari fase-fase patah hati: mulai dari perasaan ditinggalkan tanpa penjelasan, keresahan akan pertanyaan yang tidak terjawab, hingga pencarian makna dalam rasa sakit. Ini menjadi relevan bagi pembaca yang sedang mengalami atau pernah berada dalam situasi serupa. Buku ini memberi ruang untuk memahami bahwa proses penyembuhan tidak instan, dan kadang dibutuhkan waktu, refleksi, dan kehadiran pihak lain kehilangan.
Pertanyaan besar yang menjadi benang merah cerita adalah: “Mengapa Raga pergi tanpa sepatah kata?”. Pertanyaan ini perlahan dijawab menjelang akhir novel, melalui kombinasi pengungkapan Athif dan pengalaman emosional Ami sendiri. Selain itu, muncul pula pertanyaan lain seperti: Apakah seseorang bisa sembuh tanpa kejelasan?, Apakah memaafkan mungkin tanpa permintaan maaf langsung?, dan Bagaimana menerima tanpa pertanyaan tersebut penjelasan?. mendapat Semua jawaban melalui proses yang dialami Ami, bukan secara verbal, tetapi melalui pemahaman terhadap dirinya dan terhadap situasi yang tak bisa ia ubah.
Dengan membingkai cerita lewat waktu yang terus menunjuk pada pukul 23:59, novel ini menempatkan pembaca dalam situasi “hampir selesai tapi belum sepenuhnya selesai” sebuah metafora untuk hati yang terluka namun tetap berdenyut, meski dalam senyap. 23:59 bukan hanya kisah tentang cinta yang kandas, melainkan catatan tentang bagaimana seseorang bertahan, bertanya, dan perlahan menerima, bahkan tanpa kepastian.
0 comments:
Posting Komentar