Sumber foto: diambil oleh saya sendiri Aufal Kayla
Setiap pagi, saat matahari belum benar-benar tinggi dan jalanan Yogyakarta mulai ramai oleh
aktivitas warga, seorang gadis muda melangkahkan kaki dengan semangat menuju Portabel
Kesbangpol di Bantul. Ia tidak membawa kendaraan pribadi, tidak menenteng sepeda motor seperti
kebanyakan mahasiswa lainnya. Ia hanya membawa tas berisi buku, semangat yang tak padam,
dan satu harapan besar bisa tiba di kampus tepat waktu untuk menuntut ilmu. Namanya Alysia
Meidiani atau akrab disapa Alys mahasiswi Universitas Negeri Yogyakarta yang telah
menggantungkan harinya pada roda dan relasi bus Trans Jogja.
Awalnya, Alys tak pernah membayangkan akan menjadi penumpang setia bus Trans Jogja. Ia
seperti mahasiswa pada umumnya mengandalkan kendaraan pribadi untuk berangkat kuliah.
Namun, suatu hari, kendaraan yang biasa ia pakai rusak berat. Biaya perbaikan tidak sedikit,
sementara jarak rumahnya di Kasongan, Bantul, ke kampus tidaklah dekat. Di tengah kebingungan
mencari solusi, ia mendengar bahwa Trans Jogja kini memperluas jangkauannya hingga ke
wilayahnya. Ia pun memberanikan diri mencoba menggunakan transportasi umum yang
sebelumnya hanya ia lihat sekilas di jalan raya. Keputusan itulah yang kemudian mengubah
rutinitas dan cara pandangnya tentang perjalanan.
Setiap hari, Alys menempuh perjalanan cukup panjang dan penuh tantangan. Dari rumah, ia
berjalan kaki menuju Portabel Kesbangpol, lalu naik bus jalur 15 menuju Halte Ngabean. Di sana,
ia harus transit ke jalur 3B, 10, atau 11, dan kemudian berganti lagi di Halte Dr. Yap atau Kridosono
ke jalur 4A yang membawanya ke Halte Lembah UGM berseberangan dengan fakultasnya. Satu
perjalanan bisa menghabiskan waktu antara satu hingga satu setengah jam, tergantung kepadatan
dan keterlambatan bus. Tidak jarang, ia harus berdiri karena bus penuh, terutama di pagi hari saat
lonjakan penumpang membludak. Penumpang tak hanya mahasiswa, tetapi juga siswa sekolah,
pegawai negeri, buruh pasar, hingga lansia yang ikut memadati ruang sempit di dalam bus.
“Awalnya kaget karena penuh banget. Berdiri sambil pegang tiang, kadang oleng pas bus belok
atau ngerem mendadak. Tapi lama-lama terbiasa juga,” kata Alys sembari tersenyum mengenang
masa-masa adaptasinya. Kondisi seperti itu menjadi makanan sehari-hari. Bahkan, dalam beberapa
kesempatan, ia harus mengorbankan jam masuk kelas karena telat tiba di kampus. “Kadang harus
nunggu bus berikutnya karena bus pertama penuh atau terlalu lama datang. Aku pernah nunggu
hampir satu jam di halte,” tambahnya.
Namun, Trans Jogja tak melulu tentang kesulitan. Dalam keterbatasan itu, Alys juga menemukan
kenyamanan dan ketulusan. Salah satu pengalaman yang paling membekas baginya terjadi pada
malam hari. Saat itu, ia pulang agak larut dari kegiatan kampus dan menjadi satu-satunya
penumpang tersisa. Ketika tahu bahwa Alys masih ingin turun di halte yang cukup jauh dari rute
balik, sopir dan pramugara tetap mengantarnya hingga tujuan, padahal seharusnya mereka sudah
kembali ke pool. “Aku merasa dihargai banget. Mereka enggak ninggalin aku meski cuma sendiri,”
katanya dengan mata yang berkaca.
Tarif Trans Jogja yang hanya Rp2.700 per perjalanan jelas sangat membantu kondisi finansial Alys
sebagai mahasiswa. Apalagi sistem Trans Jogja memungkinkan penumpang untuk berpindah jalur
tanpa perlu membayar lagi, selama masih dalam sistem jaringan halte. “Kalau pakai ojek atau
transportasi online bisa sampai Rp20.000 sekali jalan. Belum lagi kalau pulang. Bisa habis puluhan
ribu per hari,” jelasnya. Keamanan juga menjadi alasan lain ia tetap bertahan. Adanya pramugara
dan pramugari di setiap armada membuat suasana terasa lebih terkontrol. Mereka tidak hanya
membantu penumpang naik turun bus, tetapi juga memastikan situasi tetap aman dan ramah,
terutama bagi penumpang perempuan dan kelompok rentan.
Namun bukan berarti sistem ini tanpa cela. Alys berharap ke depan Trans Jogja dapat melakukan
pembenahan. Ia menyayangkan perubahan jam operasional yang kini hanya sampai pukul 20.30,
lebih cepat dari sebelumnya yang hingga pukul 21.30. “Masih banyak mahasiswa yang pulangnya
malam. Bahkan ada yang kerja part-time juga. Jam segitu tuh Jogja masih rame,” tuturnya. Ia juga
berharap jarak waktu antarbus dipersingkat agar tidak terlalu lama menunggu di halte. Lebih dari
itu, ia bermimpi agar rute-rute bisa disederhanakan, sehingga tidak harus transit terlalu banyak
hanya untuk sampai ke satu tujuan.
Kisah Alys seakan menjadi cermin dari realita banyak mahasiswa dan masyarakat pekerja di
Yogyakarta yang menggantungkan hidupnya pada transportasi publik. Trans Jogja, sebagai layanan
Bus Rapid Transit (BRT) yang mulai beroperasi sejak tahun 2008, memang terus berkembang dari
waktu ke waktu. Saat ini, dengan lebih dari 20 jalur aktif, Trans Jogja melayani wilayah Kota
Yogyakarta, Sleman, dan Bantul. Dalam beberapa tahun terakhir, cakupan layanan bahkan telah
diperluas ke wilayah perdesaan, memberikan akses mobilitas yang lebih luas dan setara.
Di balik warna kuning hijau khas armada Trans Jogja, tersimpan begitu banyak cerita tentang para
penumpang yang berjuang, tentang pengemudi yang sabar, tentang petugas halte yang selalu
tersenyum, hingga tentang harapan untuk sistem transportasi publik yang lebih adil dan manusiawi.
Trans Jogja bukan hanya kendaraan yang mengantarkan tubuh dari satu titik ke titik lain, tapi juga
kendaraan yang mengantarkan mimpi dan menyatukan masyarakat dalam satu ruang yang sama.
Di dalam bus Trans Jogja, Alys pernah tertidur karena kelelahan dan terbangun beberapa halte
setelah seharusnya ia turun. Ia tertawa kecil saat mengenangnya. “Kadang lucu juga pernah
ketiduran, terus panik sendiri pas sadar udah kelewatan.” Tapi begitulah hidupnya sehari-hari lelah,
penuh perjuangan, tapi selalu dihadapi dengan senyum dan semangat.
Baginya, Trans Jogja bukan sekadar transportasi. Ia adalah bagian dari perjalanan menuju
kesuksesan. “Kalau enggak ada Trans Jogja, mungkin aku enggak bisa kuliah,” ucap Alys. Kalimat
itu terdengar sederhana, namun di baliknya tersimpan keyakinan bahwa mimpi bisa dicapai, asal
ada tekad dan satu kendaraan yang bersedia membawanya, perlahan namun pasti menuju masa
depan.