Selasa, 10 Juni 2025

Karimunjawa, Pesona Bahari yang Mendunia: Sudahkah Anda Berkunjung?

 

Sumber: www.indonesian.travel 

Karimunjawa, kepulauan di utara Jepara, Jawa Tengah, semakin membuktikan posisinya sebagai salah satu destinasi wisata bahari terbaik di Indonesia. Dengan pantai berpasir putih, laut biru jernih, serta keanekaragaman hayati yang kaya, Karimunjawa menawarkan pengalaman liburan yang tak terlupakan. Kini, akses menuju surga tropis ini semakin mudah dengan dibukanya rute penerbangan langsung dari Yogyakarta ke Bandara Dewadaru, Karimunjawa. 

Surga Tersembunyi yang Kian Dikenal 

Dikenal sebagai “Maldives-nya Indonesia,” Karimunjawa terdiri dari 27 pulau dengan ekosistem laut yang masih terjaga. Pulau Menjangan Besar menawarkan pengalaman unik berenang bersama hiu, sementara Pulau Cemara Kecil memanjakan wisatawan dengan pantai yang tenang dan pasir sehalus tepung. Aktivitas snorkeling dan diving menjadi daya tarik utama, mengingat terumbu karang Karimunjawa merupakan salah satu yang terbaik di Indonesia. Menurut data Dinas Pariwisata Jepara, jumlah kunjungan wisatawan meningkat 35% dalam setahun terakhir. “Penambahan akses transportasi, terutama penerbangan langsung dari Yogyakarta, menjadi faktor utama peningkatan kunjungan wisatawan,” ujar Kepala Dinas Pariwisata Jepara.

Akses Lebih Mudah, Wisatawan Meningkat

Sebelumnya, wisatawan hanya dapat mencapai Karimunjawa melalui kapal cepat atau feri dari Jepara dan Semarang, yang membutuhkan waktu tempuh cukup panjang. Namun, sejak awal 2025, rute penerbangan langsung dari Yogyakarta ke Karimunjawa telah resmi beroperasi, memangkas waktu perjalanan secara signifikan. Penerbangan ini diharapkan tidak hanya meningkatkan jumlah wisatawan domestik, tetapi juga menarik lebih banyak dari berbagai mancanegara. 

Menjaga Kelestarian di Tengah Popularitas 

Di balik keindahannya, meningkatnya jumlah wisatawan juga menjadi tantangan bagi kelestarian lingkungan Karimunjawa. Sampah plastik dan eksploitasi sumber daya alam menjadi perhatian utama. Pemerintah dan masyarakat setempat terus menggencarkan kampanye pariwisata berkelanjutan, termasuk penerapan regulasi ketat terkait jumlah wisatawan yang diizinkan berkunjung setiap harinya. Dengan segala pesona dan kemudahan akses yang semakin baik, Karimunjawa semakin meningkatkan diri sebagai destinasi bahari kelas dunia. Bagi pencinta alam dan petualangan, sudahkah Anda berkunjung ke surga tropis ini? 


Sumber: Dinas Pariwisata Jepara, Badan Pusat Statistik


Revisi UU TNI dan Bahaya Bisu bagi Perempuan

 

Sumber: unggahan intstagram @konde.co 



Wacana revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) tengah menjadi sorotan tajam masyarakat sipil. Draf perubahan yang memungkinkan prajurit aktif menduduki jabatan sipil dan memperluas peran militer di luar fungsi pertahanan memunculkan kekhawatiran luas. Terutama bagi kelompok perempuan, revisi ini dinilai sebagai kemunduran yang membahayakan hak-hak sipil dan ruang aman mereka. Dalam negara demokratis, keterlibatan militer dalam urusan sipil tanpa kontrol yang kuat justru membuka pintu bagi represi dan pengalaman sejarah menunjukkan, perempuan selalu menjadi korban paling awal dan paling senyap. 

Militer dalam Ranah Sipil: Ancaman yang Tidak Bisa Diabaikan 

Salah satu pokok persoalan dalam revisi UU TNI adalah dihapusnya kewajiban prajurit untuk pensiun atau mundur dari militer ketika menduduki jabatan sipil. Hal ini menjadi alarm bahaya atas potensi kembalinya praktik dwifungsi ABRI seperti di masa Orde Baru, di mana militer memiliki kuasa politik dan administratif yang luas. Dalam struktur demokrasi, ketidakseimbangan ini berisiko menghilangkan ruang partisipasi sipil, apalagi jika kontrol sipil terhadap militer tidak diatur secara tegas.

Perspektif Feminis: Ketika Militerisme Mengancam Ruang Hidup Perempuan 

Bagi gerakan perempuan, militerisme bukan sekadar persoalan politik pertahanan. Ia adalah cermin sistem kekuasaan yang hirarkis, patriarkal, dan penuh dominasi maskulinitas. Ketika militer masuk ke ranah sipil baik di pemerintahan, pendidikan, hingga media maka nilai-nilai yang menekankan pada empati, kesetaraan, dan keadilan berisiko tergeser. Sejarah kekerasan seksual yang melibatkan aparat keamanan terhadap perempuan, yang hingga kini minim akuntabilitas, menjadi alasan kuat mengapa revisi ini ditolak.

Kekerasan oleh Aparat: Kasus Nyata, Bukan Ketakutan Abstrak 

Kekhawatiran itu tercermin dalam berbagai kasus faktual. Salah satunya adalah dugaan kekerasan seksual yang dilakukan oleh mantan Kapolres Ngada terhadap anak di bawah umur, seperti dilaporkan oleh akun @konde.co. Kasus lainnya yang tak kalah menggemparkan adalah kematian tragis Juwita, jurnalis perempuan di Kalimantan Selatan, yang diduga dibunuh oleh oknum TNI AL. Juwita dikenal kerap mengangkat isu-isu perempuan dan kekerasan negara, menjadikan kasusnya simbol nyata betapa nyawa perempuan dalam profesi publik pun tidak aman ketika pelaku adalah bagian dari institusi yang nyaris kebal hukum.

Ruang Demokrasi Menyempit, Perempuan yang Paling Terdampak 

Revisi UU TNI ini tidak hanya soal struktur militer, melainkan soal masa depan demokrasi sipil. Ketika ruang sipil dibanjiri seragam, maka keberagaman suara, ekspresi, dan perlawanan berisiko dibungkam. Dalam konteks ini, perempuan yang selama ini berjuang di garda terdepan isu keadilan sosial, lingkungan, dan HAM akan mengalami tekanan yang lebih besar. Kekerasan akan semakin mudah dilakukan, tapi makin sulit disuarakan. 

Demokrasi Harus Dijaga, Bukan Dibungkam 

Negara yang sehat bukan negara yang memperluas kekuasaan bersenjata ke mana-mana, melainkan negara yang memberi ruang bagi rakyat untuk bersuara dan dilindungi. Revisi UU TNI yang tidak berpihak pada prinsip-prinsip demokrasi dan perlindungan hak asasi justru akan menjadi alat pembungkam yang sah. Dalam situasi ini, suara-suara perempuan tidak boleh diam. Karena ketika perempuan dibungkam, demokrasi pun akan ikut terkubur. 




23:59 Bukan Sekadar Jam — Ini Tentang Perasaan yang Terlambat

 

Sumber: postingan jendela.official.shop

Judul Buku        : 23:59

Penulis               : Brian Khrisna

Penerbit              :  MediaKita

Tahun Terbit       : 2023 

Tebal Halaman   : iv+232 hlm. 

ISBN                  :  9789797946692


Bagaimana rasanya jika waktu seolah berhenti di pukul 23:59, membekukan momen perpisahan yang datang tanpa sepatah kata penjelasan? Novel terbaru Brian Khrisna ini mengajak kita masuk ke dalam hati Ami yang hancur, mempertanyakan takdir dan mencari jawaban di tengah kebingungan. "23:59" adalah bukti nyata bahwa patah hati terdalam seringkali datang tanpa peringatan. Brian Khrisna dengan gamblang melukiskan rapuhnya sebuah hubungan dan perjalanan panjang seorang wanita untuk menerima kenyataan pahit yang ditinggalkan Raga. 'Beberapa orang hanya datang untuk mengajarkan cara melepaskan', mungkin itulah bisikan hati Ami saat membaca kembali kisahnya dalam "23:59". Novel ini adalah kumpulan momen-momen pedih dan perenungan tentang cinta yang tak sampai, disajikan dengan gaya khas Brian Khrisna.

Orang bilang, lupakan saja dia yang meninggalkanmu. Tapi "23:59" menantang pandangan itu, menunjukkan bahwa melupakan tak semudah membalik telapak tangan, terutama ketika sebuah pertanyaan 'mengapa' terus menghantui setiap detik, bahkan hingga menit terakhir sebelum hari berganti. Bagi siapa pun yang pernah merasakan pedihnya ditinggalkan atau sulitnya move on, novel "23:59" menawarkan lebih dari sekadar cerita, ia adalah cermin validasi emosi dan teman yang memahami bahwa proses penyembuhan butuh waktu, air mata, dan jawaban.

Bersiaplah untuk ikut merasakan detak jantung Ami yang tak karuan, menahan air mata, dan berteriak dalam diam. "23:59" akan membawamu dalam sebuah rollercoaster emosional yang intens, dari puncak cinta hingga jurang kehilangan, dan harapan untuk bangkit kembali. Di balik kisah Ami dan Raga, "23:59" sebenarnya mengintip pergulatan Brian Khrisna dalam merangkai kata demi kata untuk menggambarkan kompleksitas patah hati sebuah proses 'di balik layar' yang melahirkan narasi menyentuh tentang kehilangan dan penerimaan.

23:59 adalah novel yang mengisahkan perjalanan emosional seorang perempuan bernama Ami dalam menghadapi patah hati mendalam. Ia ditinggalkan oleh kekasihnya, Raga, secara tiba-tiba dan tanpa penjelasan, yang kemudian memicu proses panjang pencarian makna dan jawaban. Melalui narasi yang terbagi antara fragmen kenangan dan momen kontemplatif, pembaca diajak masuk ke ruang batin Ami yang diliputi kesedihan, kebingungan, hingga usaha untuk bangkit kembali.

Salah satu bentuk unik dari novel ini adalah kehadiran momen sureal menjelang akhir cerita, sebuah pengalaman imajinatif yang dialami Ami dan berfungsi sebagai jembatan untuk memahami alasan Raga pergi. Ini bukan penyelesaian berbasis dialog langsung atau kilas balik biasa, melainkan penggambaran surealisme emosional yang menjadi bagian khas dari penyampaian konflik dan resolusi.

Dalam perjalanannya, narasi kerap diselingi dengan bentuk yang terasa acak, seperti kilasan kenangan kecil yang muncul tiba-tiba: aroma kopi yang disukai Raga, suara hujan yang memicu ingatan, hingga percakapan lama yang kembali menghantui tanpa konteks waktu yang jelas. Potongan potongan ini menampilkan pikiran Ami yang tidak teratur, mencerminkan kondisi mentalnya yang belum stabil. Hal ini juga membuat alur terasa lebih personal dan intim, seolah pembaca membaca langsung isi buku harian Ami. 

Selain itu, terdapat detail penting yang memberi kedalaman pada konflik, yaitu kehadiran tokoh Athif, sahabat Raga. Athif memegang kunci atas alasan mengapa Raga menghilang dari hidup Ami. Ia tahu segalanya sejak awal, tetapi memilih diam. Perannya sebagai ‘penyimpan rahasia’ memberi dimensi baru dalam cerita dan memperluas ruang konflik tidak hanya antara dua tokoh utama, tetapi juga menyentuh aspek moral dan loyalitas antartokoh.

Dari segi kebutuhan pembaca, 23:59 menghadirkan representasi emosional dari fase-fase patah hati: mulai dari perasaan ditinggalkan tanpa penjelasan, keresahan akan pertanyaan yang tidak terjawab, hingga pencarian makna dalam rasa sakit. Ini menjadi relevan bagi pembaca yang sedang mengalami atau pernah berada dalam situasi serupa. Buku ini memberi ruang untuk memahami bahwa proses penyembuhan tidak instan, dan kadang dibutuhkan waktu, refleksi, dan kehadiran pihak lain kehilangan. 

Pertanyaan besar yang menjadi benang merah cerita adalah: “Mengapa Raga pergi tanpa sepatah kata?”. Pertanyaan ini perlahan dijawab menjelang akhir novel, melalui kombinasi pengungkapan Athif dan pengalaman emosional Ami sendiri. Selain itu, muncul pula pertanyaan lain seperti: Apakah seseorang bisa sembuh tanpa kejelasan?, Apakah memaafkan mungkin tanpa permintaan maaf langsung?, dan Bagaimana menerima tanpa pertanyaan tersebut penjelasan?. mendapat Semua jawaban melalui proses yang dialami Ami, bukan secara verbal, tetapi melalui pemahaman terhadap dirinya dan terhadap situasi yang tak bisa ia ubah.

Dengan membingkai cerita lewat waktu yang terus menunjuk pada pukul 23:59, novel ini menempatkan pembaca dalam situasi “hampir selesai tapi belum sepenuhnya selesai” sebuah metafora untuk hati yang terluka namun tetap berdenyut, meski dalam senyap. 23:59 bukan hanya kisah tentang cinta yang kandas, melainkan catatan tentang bagaimana seseorang bertahan, bertanya, dan perlahan menerima, bahkan tanpa kepastian.

Trans Jogja dan Perjuangan Seorang Mahasiswa

 

 Sumber foto: diambil oleh saya sendiri Aufal Kayla 

Setiap pagi, saat matahari belum benar-benar tinggi dan jalanan Yogyakarta mulai ramai oleh aktivitas warga, seorang gadis muda melangkahkan kaki dengan semangat menuju Portabel Kesbangpol di Bantul. Ia tidak membawa kendaraan pribadi, tidak menenteng sepeda motor seperti kebanyakan mahasiswa lainnya. Ia hanya membawa tas berisi buku, semangat yang tak padam, dan satu harapan besar bisa tiba di kampus tepat waktu untuk menuntut ilmu. Namanya Alysia Meidiani atau akrab disapa Alys mahasiswi Universitas Negeri Yogyakarta yang telah menggantungkan harinya pada roda dan relasi bus Trans Jogja. 

Awalnya, Alys tak pernah membayangkan akan menjadi penumpang setia bus Trans Jogja. Ia seperti mahasiswa pada umumnya mengandalkan kendaraan pribadi untuk berangkat kuliah. Namun, suatu hari, kendaraan yang biasa ia pakai rusak berat. Biaya perbaikan tidak sedikit, sementara jarak rumahnya di Kasongan, Bantul, ke kampus tidaklah dekat. Di tengah kebingungan mencari solusi, ia mendengar bahwa Trans Jogja kini memperluas jangkauannya hingga ke wilayahnya. Ia pun memberanikan diri mencoba menggunakan transportasi umum yang sebelumnya hanya ia lihat sekilas di jalan raya. Keputusan itulah yang kemudian mengubah rutinitas dan cara pandangnya tentang perjalanan.  

Setiap hari, Alys menempuh perjalanan cukup panjang dan penuh tantangan. Dari rumah, ia berjalan kaki menuju Portabel Kesbangpol, lalu naik bus jalur 15 menuju Halte Ngabean. Di sana, ia harus transit ke jalur 3B, 10, atau 11, dan kemudian berganti lagi di Halte Dr. Yap atau Kridosono ke jalur 4A yang membawanya ke Halte Lembah UGM berseberangan dengan fakultasnya. Satu perjalanan bisa menghabiskan waktu antara satu hingga satu setengah jam, tergantung kepadatan dan keterlambatan bus. Tidak jarang, ia harus berdiri karena bus penuh, terutama di pagi hari saat lonjakan penumpang membludak. Penumpang tak hanya mahasiswa, tetapi juga siswa sekolah, pegawai negeri, buruh pasar, hingga lansia yang ikut memadati ruang sempit di dalam bus. 

“Awalnya kaget karena penuh banget. Berdiri sambil pegang tiang, kadang oleng pas bus belok atau ngerem mendadak. Tapi lama-lama terbiasa juga,” kata Alys sembari tersenyum mengenang masa-masa adaptasinya. Kondisi seperti itu menjadi makanan sehari-hari. Bahkan, dalam beberapa kesempatan, ia harus mengorbankan jam masuk kelas karena telat tiba di kampus. “Kadang harus nunggu bus berikutnya karena bus pertama penuh atau terlalu lama datang. Aku pernah nunggu hampir satu jam di halte,” tambahnya. 

Namun, Trans Jogja tak melulu tentang kesulitan. Dalam keterbatasan itu, Alys juga menemukan kenyamanan dan ketulusan. Salah satu pengalaman yang paling membekas baginya terjadi pada malam hari. Saat itu, ia pulang agak larut dari kegiatan kampus dan menjadi satu-satunya penumpang tersisa. Ketika tahu bahwa Alys masih ingin turun di halte yang cukup jauh dari rute balik, sopir dan pramugara tetap mengantarnya hingga tujuan, padahal seharusnya mereka sudah kembali ke pool. “Aku merasa dihargai banget. Mereka enggak ninggalin aku meski cuma sendiri,” katanya dengan mata yang berkaca. 

Tarif Trans Jogja yang hanya Rp2.700 per perjalanan jelas sangat membantu kondisi finansial Alys sebagai mahasiswa. Apalagi sistem Trans Jogja memungkinkan penumpang untuk berpindah jalur tanpa perlu membayar lagi, selama masih dalam sistem jaringan halte. “Kalau pakai ojek atau transportasi online bisa sampai Rp20.000 sekali jalan. Belum lagi kalau pulang. Bisa habis puluhan ribu per hari,” jelasnya. Keamanan juga menjadi alasan lain ia tetap bertahan. Adanya pramugara dan pramugari di setiap armada membuat suasana terasa lebih terkontrol. Mereka tidak hanya membantu penumpang naik turun bus, tetapi juga memastikan situasi tetap aman dan ramah, terutama bagi penumpang perempuan dan kelompok rentan.  

Namun bukan berarti sistem ini tanpa cela. Alys berharap ke depan Trans Jogja dapat melakukan pembenahan. Ia menyayangkan perubahan jam operasional yang kini hanya sampai pukul 20.30, lebih cepat dari sebelumnya yang hingga pukul 21.30. “Masih banyak mahasiswa yang pulangnya malam. Bahkan ada yang kerja part-time juga. Jam segitu tuh Jogja masih rame,” tuturnya. Ia juga berharap jarak waktu antarbus dipersingkat agar tidak terlalu lama menunggu di halte. Lebih dari itu, ia bermimpi agar rute-rute bisa disederhanakan, sehingga tidak harus transit terlalu banyak hanya untuk sampai ke satu tujuan.

Kisah Alys seakan menjadi cermin dari realita banyak mahasiswa dan masyarakat pekerja di Yogyakarta yang menggantungkan hidupnya pada transportasi publik. Trans Jogja, sebagai layanan Bus Rapid Transit (BRT) yang mulai beroperasi sejak tahun 2008, memang terus berkembang dari waktu ke waktu. Saat ini, dengan lebih dari 20 jalur aktif, Trans Jogja melayani wilayah Kota Yogyakarta, Sleman, dan Bantul. Dalam beberapa tahun terakhir, cakupan layanan bahkan telah diperluas ke wilayah perdesaan, memberikan akses mobilitas yang lebih luas dan setara.   

Di balik warna kuning hijau khas armada Trans Jogja, tersimpan begitu banyak cerita tentang para penumpang yang berjuang, tentang pengemudi yang sabar, tentang petugas halte yang selalu tersenyum, hingga tentang harapan untuk sistem transportasi publik yang lebih adil dan manusiawi. Trans Jogja bukan hanya kendaraan yang mengantarkan tubuh dari satu titik ke titik lain, tapi juga kendaraan yang mengantarkan mimpi dan menyatukan masyarakat dalam satu ruang yang sama.  

Di dalam bus Trans Jogja, Alys pernah tertidur karena kelelahan dan terbangun beberapa halte setelah seharusnya ia turun. Ia tertawa kecil saat mengenangnya. “Kadang lucu juga pernah ketiduran, terus panik sendiri pas sadar udah kelewatan.” Tapi begitulah hidupnya sehari-hari lelah, penuh perjuangan, tapi selalu dihadapi dengan senyum dan semangat. 

Baginya, Trans Jogja bukan sekadar transportasi. Ia adalah bagian dari perjalanan menuju kesuksesan. “Kalau enggak ada Trans Jogja, mungkin aku enggak bisa kuliah,” ucap Alys. Kalimat itu terdengar sederhana, namun di baliknya tersimpan keyakinan bahwa mimpi bisa dicapai, asal ada tekad dan satu kendaraan yang bersedia membawanya, perlahan namun pasti menuju masa depan.  


Selasa, 03 Juni 2025

Dari Skandal ke Solusi: Mungkinkah Pertamina Kembali Bersih?


Belakangan ini, berbagai skandal yang melibatkan Pertamina kembali menjadi sorotan publik. Dugaan korupsi, penyalahgunaan wewenang, hingga kurangnya transparansi dalam pengelolaan dana membuat masyarakat semakin kehilangan kepercayaan terhadap perusahaan milik negara ini. Pertamina, yang seharusnya menjadi pilar utama dalam sektor energi nasional, kini justru dipertanyakan integritasnya. Apakah masih ada harapan untuk membersihkan perusahaan ini dari praktik-praktik kotor yang telah mengakar begitu dalam?

Skandal Besar yang Mengguncang

Salah satu skandal terbesar yang baru-baru ini terungkap adalah dugaan korupsi dalam tata kelola minyak mentah dan produk kilang di PT Pertamina serta kontraktor terkait periode 2018–2023. Kejaksaan Agung mengungkapkan bahwa kasus ini diperkirakan merugikan negara hingga Rp 193,7 triliun. Sebanyak lebih dari 120 saksi telah diperiksa, dan tujuh tersangka telah ditetapkan, termasuk petinggi di PT Pertamina Patra Niaga dan PT Kilang Pertamina Internasional. Modus operandi yang digunakan sangat merugikan masyarakat, seperti praktik mencampur Pertalite untuk dijual sebagai Pertamax, yang tidak hanya menurunkan kualitas BBM tetapi juga membuat masyarakat harus membayar lebih mahal untuk bahan bakar yang seharusnya lebih berkualitas.

Selain itu, skandal Pertamina bukan hanya kali ini terjadi. Pada tahun-tahun sebelumnya, berbagai kasus penyimpangan keuangan, suap, dan penyalahgunaan jabatan juga telah mencuat ke permukaan. Ini menunjukkan bahwa permasalahan di tubuh Pertamina bukan sekadar insiden sekali waktu, melainkan indikasi adanya sistem yang lemah dan perlu dibenahi secara mendalam.

Masalah yang Harus Dibenahi

Minimnya transparansi menjadi salah satu faktor utama yang memungkinkan praktik korupsi terus terjadi di Pertamina. Keputusan-keputusan besar, terutama yang menyangkut keuangan dan kebijakan harga bahan bakar, sering kali dibuat tanpa keterbukaan yang memadai. Hal ini menimbulkan kecurigaan bahwa ada kepentingan tertentu yang bermain di balik layar. Jika kebijakan energi nasional tidak dijalankan dengan penuh akuntabilitas, maka dampaknya akan sangat luas, mulai dari harga BBM yang tidak wajar hingga kerugian besar yang harus ditanggung negara.

Selain itu, pengelolaan dana yang tidak efisien juga menjadi perhatian serius. Kebocoran anggaran, inefisiensi dalam operasional, serta adanya oknum-oknum yang mengambil keuntungan pribadi dari aset negara adalah masalah yang harus segera diatasi. Jika dibiarkan, hal ini tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga membebani rakyat dengan harga BBM yang terus naik tanpa alasan yang jelas. 

Jaksa Agung ST Burhanuddin bahkan menyebut kasus dugaan korupsi di Pertamina sebagai salah satu yang paling sulit dan menantang untuk diungkap. Ini menunjukkan bahwa sistem di dalamnya sudah sangat kompleks dan perlu reformasi besar-besaran untuk memastikan pengelolaan yang lebih bersih dan profesional.

Peran Masyarakat dalam Mengawal Perubahan

Sebagai warga negara, kita tidak boleh hanya menjadi penonton. Kita memiliki hak untuk mengetahui bagaimana aset negara dikelola dan berhak menuntut transparansi. Beberapa langkah konkret yang bisa kita lakukan antara lain:

  • Mendorong Keterbukaan Informasi
Pemerintah dan Pertamina harus membuka akses informasi kepada publik mengenai pengelolaan dana, proses tender, dan kebijakan energi. Dengan adanya transparansi, masyarakat bisa mengawasi dengan lebih baik dan mencegah terjadinya penyalahgunaan.
  • Menggunakan Media Sosial dan Forum Diskusi
Di era digital ini, suara masyarakat bisa lebih mudah didengar melalui media sosial. Kritik yang membangun dan diskusi terbuka bisa menjadi alat untuk menekan pihak terkait agar bertindak lebih transparan dan bertanggung jawab.
  • Mendukung Audit Independen
Audit dari pihak ketiga yang netral harus dilakukan secara rutin untuk memastikan tidak ada penyimpangan dalam pengelolaan keuangan Pertamina. Jika hasil audit menunjukkan adanya pelanggaran, maka harus ada tindakan hukum yang tegas.
  • Menuntut Reformasi Tata Kelola BUMN
Kasus Pertamina ini seharusnya menjadi pelajaran bahwa tata kelola BUMN harus direformasi secara total. Kita perlu mendorong pemerintah untuk membuat kebijakan yang lebih ketat dalam mengawasi perusahaan negara agar kasus seperti ini tidak terulang.
  • Menyuarakan Kepentingan Publik
Masyarakat dapat menggunakan hak demokratisnya untuk menuntut kebijakan energi yang lebih pro-rakyat, misalnya dengan mendesak adanya subsidi yang tepat sasaran dan harga BBM yang sesuai dengan kondisi ekonomi nasional.

Langkah Kecil untuk Perubahan Besar

Perubahan memang tidak bisa terjadi dalam semalam. Namun, jika masyarakat terus berperan aktif dalam mengawasi kebijakan dan pengelolaan aset negara, tekanan untuk melakukan reformasi akan semakin besar. 

Kita bisa belajar dari negara-negara lain yang berhasil melakukan reformasi dalam pengelolaan perusahaan milik negara. Transparansi, akuntabilitas, serta partisipasi publik menjadi kunci utama keberhasilan perubahan. Jika praktik-praktik baik ini diterapkan di Indonesia, bukan tidak mungkin Pertamina bisa kembali menjadi perusahaan yang bersih dan profesional. 

Sejauh ini, Pertamina telah berjanji untuk meningkatkan transparansi dan tata kelola perusahaan guna mencegah terulangnya kasus serupa di masa mendatang. Namun, janji saja tidak cukup tanpa adanya pengawasan yang ketat dan keterlibatan publik dalam mengawal perubahannya.

Harapan untuk Masa Depan yang Lebih Baik

Saya optimis bahwa dengan dorongan kuat dari masyarakat, pemerintah, dan pengawas independen, Pertamina bisa melakukan reformasi menyeluruh. Ini bukan hanya tentang mengembalikan nama baik perusahaan, tetapi juga tentang memastikan bahwa setiap rupiah yang dikelola benar-benar bermanfaat untuk rakyat, bukan untuk kepentingan segelintir pihak.

Opini ini saya sampaikan sebagai ajakan kepada seluruh masyarakat untuk tidak tinggal diam. Mari kita terus mengawasi, mengkritisi, dan menuntut perubahan. Hanya dengan keberanian dan kebersamaan, kita bisa mewujudkan Pertamina yang bersih dan dapat dipercaya, demi masa depan yang lebih baik bagi bangsa dan generasi mendatang.